Jurnalistik Sastra

Pandangan I Nyoman Suaka tentang jurnalistik sastra (Bali Post, 22/2) cenderung menyimpulkan bahwa pers bisa berperan menurunkan ketegangan situasi jika menerapkan konsep berita bergaya sastra. Begitu dekat Suaka membawa jurnalistik yang dipertentangkannya kepada kondisi tertentu padahal variabelnya belum pasti saling menunjang. Tergantung dari sebab akibatnya, kapan jurnalistik itu berperan sebagai stabilisator. Agaknya, kesimpulan Suaka ini merupakan hipotesa yang salah.

DALAM teknologi komunikasi modern kini, berita-berita saling berpacu merebut kesempatan pertama dengan bahasanya yang singkat, padat, berisi dan memukau. Berita iklan pun kini jadi saingan pers karena bahasa iklan yang lebih menukik, menusuk-nusuk.

Kini ada jurnalistik baru yang disebut "jurnalisme hati nurani" yang dicetuskan dalam buku karya Bill Kovach, ketua Committee of Concerned Journalist -- lembaga kewartawanan yang peduli kepada publik di Amerika Serikat. Ada sembilan elemen jurnalisme menurut Kovach yakni (1) kebenaran, (2) loyalitas, (3) disiplin verifikasi, (4) independensi, (5) pemantau kekuasaan, (6) forum publik, (7) menarik dan relevan, (8) komperenhensif dan proposional, dan (9) wartawan harus mengikuti hati nurani. Jurnalisme inikah yang disebut jurnalistik sastra karena ada sentuhannya kepada hati nurani? Karya Bill Kovach ini nampaknya juga sejalan dengan 10 pedoman penulisan berita yang dianjurkan oleh PWI pusat. Baik 9 elemen Bill Kovach ataupun 10 pedoman PWI tujuannya adalah tertatanya berita untuk menciptakan kondisi yang aman bagi publik atas berita-berita yang beredar. Bukan mengubah kondisi yang ada.

Nampaknya Suaka terlambat menulis dan keburu waktu membuat kesimpulan. Gek Ary Suharsani lantas muncul dan mengoreksi Suaka (Bali Post, 29/2). Sampai tulisan kedua turun, Suaka (Bali Post, 7/3) hanya merevisi bagian tulisannya yang perlu diperjelas. Tak ada yang baru. Sebaiknya Suaka berdiri di tempat yang aman dan membiarkan jurnalistik itu berjalan apa adanya sejajar dengan hak jurnalistik sastra yang jadi dambaan Suaka.

Sesungguhnya jurnalistik sastra itu muncul karena adanya akibat. Akibat kerusuhan, misalnya. Ada korban-korban. Ada provokator. Yang pertama mengungkap tabir kerusuhan itu antara lain memang jurnalistik. Yang menangkap provokatornya polisi. Yang meneruskan ceritanya adalah jurnalistik sastra yang mampu mengetuk hati para dermawan untuk menyumbangkan jutaan uangnya bagi para korban kerusuhan.

Suaka dan Suharsani ternyata hanya mendiskusikan dalil-dalil 5W + 1H, bukan kepada persoalan pokok dari tulisan Suaka. Suharsani yang punya pengalaman mengikuti work shop jurnalistik sastra -- meski pandangannya luas -- juga tak bergeser dari persoalan sebenarnya. Substansi persoalan adalah, apakah jurnalistik sastra itu bisa mengubah keadaan, situasi dan kondisi yang berkembang? Karena persoalan itu berkait dengan sastra sebagai topik pemberitaan, persoalannya menjadi lain yang membuat pembaca ingin tahu apa sebenarnya yang disebut berita itu, apa sastra, apa sastra-berita, apa jurnalistik sastra, dan seterusnya.

Sekali Terjadi
Dari buku "Scholastic Journalism" (The IOWA State University Press) disebutkan, berita memiliki momentum yang sekali terjadi. Akurasinya terikat waktu saat berita itu meletus. Lewat satu menit saja, jika ada berita sama beredar, momentumnya sudah hilang. Yang tersisa hanyalah action, tindakan-tindakan, rumor, dan sebagainya. Jurnalistik hanya menyodorkan 5 W + 1H yang perlu ditelusuri pihak lain. Jika ada situasi berkembang akibat berita, itu sudah di luar jangkauan jurnalistik.

Prof. A Reiching (ahli bahasa) menyatakan berita sebagai instrumen bahasa adalah perbuatan instrumental yang koperatif yang mengajak manusia untuk berbagai rasa. Berita menempatkan manusia pada kedudukan yang sama dan tanggung jawab yang sama pula. Jika ada berita seseorang hanya diam, tak berintegrasi, peran dan tanggung jawabnya rendah. Jadi berita memang mendorong seseorang mengambil peran dan tanggung jawab.

Lalu, apakah sastra? Dari buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjelasan mengenai sastra malahan tidak menarik. Statis dan beku. Saya teringat ketika masih SMA di Surabaya puluhan tahun lampau. Bahasa Indonesia diajar oleh guru Iwan Simatupang, sastrawan eksistensialis yang masa itu dikenal sebagai pemberontak bahasa sastra yang beku. Pak Iwan mengatakan sastra lahir dari hati nurani manusia yang mengalami gejolak batin yang hebat. Ketidakmampuannya menghadapi kekerasan dan kezaliman, manusia melawannya dengan logika, kebenaran dan hati nurani. Dalam kegalauan yang campur aduk itu, sastra tidak menyuruh lawannya untuk menyerah tapi menghimpun kekuatan manusia menghadapi dunianya sendiri dan dunia di luar dirinya.

Albert Camus ("The Major Works of A.Camus") menyatakan sastra adalah ketegangan absurditas yang terus bergolak sampai manusia mencapai kesadaran puncak dengan pikiran terkontrol, penahanan diri terhadap tekanan-tekanan apapun, baik politis, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Absurditas adalah kegilaan untuk mencapai kreativitas yang tinggi. Berkarya terus sampai manusia itu menemukan nilai-nilai yang terbaik dalam dirinya yakni hati nurani. Dengan meramu pendapat-pendapat tersebut disimpulkan bahwa jurnalistik sastra adalah jurnalistik yang sangat menghargai kedudukan manusia, menghargai waktu, berbagai rasa dengan orang lain, mendorong peran dan tanggung jawab yang sama. Mendorong manusia untuk mencapai kesadaran yang tinggi, yakni hati nurani.

Beban Berat
Begitu berat beban yang harus diemban jika jurnalistik sastra itu diproyeksikan kepada kenyataan yang sebenarnya terjadi di Indonesia yang segalanya serba semu, paradoksal. Seorang yang penampilannya semula meyakinkan untuk dianggap sebagai pemimpin bangsa ternyata kenyataannya tidak begitu. Supremasi hukum selalu disuruh-suruh tegakkan tapi kejahatan korupsi dibolehkan jalan. Ada kredo hukum yang sangat terkenal berbunyi "lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang yang benar". Kedengarannya seperti kredo yang dilematis, lebih baik mengambil langkah ini daripada yang itu. Jurnalistik hampir tak punya sisa menyoroti kenyataan itu, tapi jika yang disoroti tetap tebal muka, jurnalistik mau apa?

Sesungguhnya jurnalistik sastra itu muncul ketika ada musuh besar yang harus dihadapi yakni musuh ras diskriminasi dan perbudakan di Amerika, Afrika. Lalu merembet ke Eropa, Timur Tengah, India, dll. Pengarang-pengarang besar dunia sampai perlu turun jadi wartawan perang (!) mencegah meluasnya bencana moral tersebut. Ada nama-nama besar seperti Albert Camus, Loei Fisser, sampai Arthur Koestler. Tetapi keganasan dunia toh tetap terjadi. Kenyataan itukah yang barangkali jadi ganjalan Suaka yang mengeluhkan jurnalistik kita kurang mengambil peran mewadahi menghadapi gejolak situasi yang terus berkembang? Barangkali bukan hanya Suaka yang patut mengeluh, semua pembaca koran yang nuraninya bergetar tak pernah berhenti batinnya tersiksa.

Penggerak jurnalistik sastra di Indonesia terbilang hitungan jari. Hanya ada nama-nama Gunawan Muhamad, M Sobari, Bur Rasuanto, hingga Arswendo. Itupun sebagian sudah bergeser ke dunia film, suatu media yang dianggapnya lebih banyak bisa menggali hati nurani manusia? Jika ada 1% saja dari seluruh pembaca koran memahami pentingnya jurnalistik sastra, sudah untung. Selebihnya adalah para pembaca yang bingung tak pernah mengerti apa sebenarnya yang terjadi di Indonesia ini.


Catatan Redaksi:
Dengan dimuatnya tulisan ini, persoalan seputar jurnalistik sastra kami anggap sudah cukup.
Terimakasih.

You are reading the article Jurnalistik Sastra and this article is http://jurnalis-group.blogspot.com/2009/03/jurnalistik-sastra.html
Hopefully this articleJurnalistik Sastra could be useful.

0 komentar:

Posting Komentar